Karya Cerpen



Penyual Nyawa
(Dimuat Kompas 4 Juni 2006)

Saat kanak-kanak, ketika hari pasaran Wage,
kami selalu was-was bertemu Pak Timbil. Sebanding dengan  ketakutan kami akan “montor pelet”, mobil bergambar gunting yang diisukan mengambil mata anak-anak untuk dibuat cendol. Pak Timbil terkenal sebagai penjual nyawa, yang harus kulakan nyawa dengan cara menculik anak-anak sebagai tumbal.

Sebagai blantik kambing dia berputar mengikuti rotasi hari pasaran. Bila Wage dia ke Pedan, Kliwon ke Klembon, Pon ke Jatinom, Paing ke Prambanan, dan Legi ke Delanggu.  Tak ada hari istirahat kecuali baru tidak enak badan. Sebetulnya bukan hanya kambing saja yang diperjualbelikannya. Tapi bila tak ada uang, atau kantongnya terlalu tipis,  dia melenggang kangkung saja tanpa membawa apa-apa. Tabiat itu jadi rahasia umum, sehingga sering ada yang berceloteh: “Uang Pak Timbil sedang banyak!” atau “Pak Timbil sedang tidak punya uang!” Dia menanggapi dengan senyum  atau menjawab sambil tertawa: ”Ya!”
Tidak pernah memakai alas kaki walau tanah jalan becek atau terbakar kemarau. Tapi setelah jalan desa banyak yang diaspal dia memakai sandal jepit. “Tak tahan kakiku kena panas aspal!” katanya setiap kali disapa orang. Seolah minta dimaklumi kalau dia keluar dari pakemnya. Pak  Timbil juga keluar dari tabiatnya yang lain. Dia tidak pernah lagi melenggang tanpa barang dagangan, walau mungkin yang dibawanya hanya anak bebek, anak kelinci, bahkan pernah membawa anak tupai.   Bila ada yang menanyakan perubahannya itu dia menjawab, “Biar tidak tergantung nasib pada ternak besar saja!” Setelah berlangsung cukup lama orang jadi biasa, tidak mengaggap perubahan itu sebagai hal yang aneh lagi.
Lalu gelar penjual nyawa didapat dari mana? Bermula ketika lahir tabiat barunya, yang suka mengunjungi orang sekarat.  Suatu hari ada yang sedang sekarat di Desa Jambukidul, desa yang selalu dilaluinya bila ke Pasar Pedan. Kerabat si sakit sudah pasrah kalau akan diambil-Nya. Pak Timbil singgah, mendoakan agar calon almarhum diberi jalan lapang dan bersih. Pak Timbil  memijit jari kakinya agar sedikit memberi rasa nyaman. Saat dipijit tangannya itulah si sekarat bergerak, menyalangkan mata, tersenyum, dan bangun dari sekaratnya. Kerabatnya gembira, lalu ayam yang dibawa Pak Timbil dibeli untuk dipelihara. Anehnya ketika ayam yang dibeli itu mati terlindas motor, si sekarat yang sembuh itu tiba-tiba mati. Mungkin itu hanya sebuah kebetulan semata dan segera dilupakan orang. 
Di lain waktu,  ketika dia sedang menuntun seekor kambing,  ada yang sekarat karena usianya memang sudah uzur. Pak Timbil mampir memijitnya.  Aneh, nyawa yang sudah sampai di ujung tenggorokan kembali ke tempat semula. Laki-laki uzur itu bangkit lagi. Orang-orang jadi gempar. Lalu kambing Pak Timbil dibeli untuk syukuran. Ketika kambing mati disembelih, si uzur yang sehat kembali itu tiba-tiba  terjengkang dan mati. Acara syukuran pun berubah jadi duka. Orang teringat dengan kejadian pertama.
Ada lagi, yaitu ketika ada bocah sekarat dari keluarga kaya yang sembuh oleh sentuhannya. Anak bebek betinanya dibeli lalu dipelihara dengan manja. Ketika saatnya bertelur tidak diizinkan lewat jalur resmi, tapi dengan operasi cesar supaya saluran kloakanya tidak rusak. Dengan harapan umur si bebek jadi lebih panjang. Bebek itu mati tua, dan ternyata seumuran bebek itu pula tambahan usia si bocah.
Sejak itu Pak Timbil dianggap sebagai orang orang keramat dan jadi perbincangan di mana-mana. Ternyata perpanjangan nyawa itu sebanding dengan umur binatang yang dibeli dari Pak Timbil. Tapi Pak Timbil tetap seperti dulu,  berjalan kaki ke pasar dengan membawa ternak atau dagangan lainnya, tergantung berapa banyak uangnya. Dia juga tidak pernah menjual dagangannya di atas harga pasar. Tapi orang tak ada yang berani sembrono layaknya dulu, sekalipun hanya membawa kupu-kupu, wangwung, katimumul, atau belalang ke pasar. Dia sudah dianggap seorang wali yang menyamar, sekelas sunan atau wali era Demak Bintoro dulu. “Dia seorang wali masa kini!”
“Seharusnya demikianlah ‘wong pinter’, bukannya iklan di koran atau televisi dengan kemampuan yang mengada-ada!”
“Pak Timbil punya ilmu laduni! Kekasih Allah!”
“Tapi katanya dia tak pernah berlama-lama di surau!”
“Apa hubungannya? Kamu sendiri suka berlama-lama dzikir tetapi hatimu seperti pasir, tak ada gunanya!”
“Penjual nyawa!” komentar seseorang di majelis taklim. Lalu istilah penjual nyawa jadi populer.
Hampir saja sebutan penjual nyawa itu luntur. Ada keluarga si sembuh yang membeli anak sapinya dan dipelihara baik-baik. Sayangnya, anak sapi itu hilang dicuri. Keluarga itu sudah ketar-ketir. Tapi sampai terhitung bulan dan tahun tidak terjadi apa-apa. Tapi pada suatu hari, tepatnya jam tiga pagi, orang yang disembuhkan dari sekarat itu tiba-tiba ditemukan mati. “Tampaknya sapi yang hilang itu dipotong jam tiga tadi!” kata salah satu pelayat.  
Pelayat lain menimpali, “Oleh malingnya sapi itu tak segera dijual, tapi digemukkan dulu biar harganya lebih mahal saat dibawa ke penjagalan!”   
Keanehan Pak Timbil mengusik sebuah pesantren, yang lantas menyuruh santrinya menyelidiki Pak Timbil secara diam-diam. Tapi litsus amatiran itu mendapati hasil bila Pak Timbil orang bersih dari hal kotor atau keji lainnya. Kecuali satu, di ka-te-pe-nya ada tanda ‘c’. “Apakah dia bekas pe-ka-i?”
“Apa hubungan pe-ka-i dengan kebersihan hati. Mungkin dulu itu hanya salah tunjuk saja, korban fitnah!”
“Bukankah saat itu anaknya yang guru es-te-em dibunuh?”
“Anak dan bapak jangan kamu seragamkan! Semua juga tahu siapa yang mendalangi pembunuhan itu, yang lantas mengawini pacar anaknya!”
Tentu saja sebutan penjual nyawa tak berani diucapkan terang-terangan di depan Pak Timbil.   Pernah ada yang menanyakan perihal kemampuannya itu, tapi dengan gigih Pak Timbil menyangkalnya. “Menghidupkan orang mati? Kalian sangka aku ini Tuhan!” kata Pak Timbil tak suka. Tetapi semakin banyak yang penasaran, sehingga kalau ada orang sekarat dipanggillah Pak Timbil. Begitu disentuh tangannya si sekarat selamat.

***
“Bagaimana, apakah kalian sudah bertemu Pak Timbil?” tanya Seruni kepada orang-orang suaminya di bangsal RS Tegalyoso.
“Belum!” jawab Lurah Jingklong mewakili mulut anak buahnya. Dia sendiri ogah-ogahan pergi ke blantik itu. Berat rasanya, lebih baik masuk penjara andai  saja dia bisa memilih.
”Mengapa tidak dicari sendiri?” desak Seruni, penuh kecurigaian akan keseriusan suaminya.
“Ya, akan kucari sendiri!” kata Lurah Jingklong setengah hati dan beranjak pergi. Dengan mobil tuanya dia menuju desa Pak Timbil. Tapi niat itu diurungkan. Mobilnya dibelokkan ke arah lain. Dengan muka merah berhenti di tepi jalan tengah sawah. Turun dari mobil lalu melorotkan celananya. Sudah dua hari dia anyang-anyangen, kencing sedikit-sedikit dan membuat nyeri lutut. Kadang dia harus bergetar saat airnya tidak jadi keluar. Dia berpikir Seruni sengaja mempermalukannya, supaya mengemis-ngemis perpanjangan nyawa anaknya. Tapi bukankah anaknya betul-betul sekarat karena kecelakaan. Sangat berat hatinya. Tatapan mata Pak Timbil dulu belum bisa dilupakannya. Tatapan yang menghunjam jantungnya, apalagi ketika kepala anaknya itu terkulai lemah di pangkuannya. Lurah Jingklong berbalik arah, kembali ke rumah sakit.
“Berangkatlah, Pakne! Kasihan Seruni....!” bujuk istrinya.
“Aku tidak suka disebut penjual nyawa!” jawabnya. Dia menyembunyikan hatinya. Luka lama terhadap Lurah Jingklong masih sangat terasa. Saat itu, ketika dia sedang memangku anak laki-laki tunggalnya yang sekarat dengan leher tergorok, Jingklong muda meludahi  mukanya layaknya binatang najis. Bukan itu saja, pemuda itu juga mengayunkan golok ke lehernya. Untung saja beberapa orang berhasil mencegah sehingga dia masih hidup sampai sekarang. 
“Berangkatlah, Pakne! Kasihan anak Seruni...., “ ulang istrinya. Perempuan itu lebih lapang dada dari pada dirinya. Blantik kambing itu diam saja. Tapi dalam hatinya jadi menimbang-nimbang. Karma itu akan datang pada Lurah Jingklong, anaknya sekarat di depan matanya. Mungkin akan segera mati di dekapannya.

***
“Tidak kutemukan!” kata Lurah Jingklong kepada istrinya dengan nada sedih, menyembunyikan kebohongannya. Beberapa orang ikut kecewa. Dokter dan perawat sangat sibuk,  ruang ICU jadi sunyi senyap. Hanya ada suara anak Seruni yang megap-megap ingin memisah dunia.
“Itu istri Pak Timbil!” seru beberapa orang ketika melihat istri Pak Timbil menuju arah mereka. Tak lama kemudian tergopoh Pak Timbil datang. Lurah Jingklong terpana seakan tak percaya, lalu menyambut dan menjatuhkan diri mendekap kaki Pak Timbil sambil menangis sesenggukan.
            “Sudahlah!” kata Pak Timbil lirih sambil mengelus rambut Lurah Jingklong layaknya mengelus anaknya dulu. Dengan tergesa beberapa orang masuk ke ruang intensif, dokter dan suster segera keluar ruangan. Pak Timbil masuk disertai Lurah Jingklong dan istrinya. Dipijitnya kaki anak Seruni. Tak berapa lama tubuh anak muda itu mulai memerah, tanda kehidupannya mulai mengalir. Setelah itu mata anak Seruni terbuka, menguap dan tersenyum. Pak Timbil keluar ruangan, Lurah Jingklong mengikutinya layaknya takut ditinggalkan bapaknya. “Apa yang Bapak bawa?” tanya Lurah Jingkolng.
“Ada di luar sana. Kutambatkan di pohon palem depan rumah sakit!” jawab Pak Timbil. Lurah Jingklong meraih tangannya, menciuminya, lalu bergegas keluar rumah sakit hendak memastikan jenis binatang sambungan nyawa anaknya. Sampai di luar dilihatnya seekor anak kerbau yang sempoyongan, lehernya terluka dan mengucurkan darah. Gemparlah rumah sakit, dan sejak itu Pak Timbil menghilang bersama istrinya, tidak pernah terlacak sampai sekarang. (*)

Jakarta, 22 April 2006  




Drum Band Hantu

“Dram-tum-tum-dram! Dram-tum-tum-dram!”
Dulu semasa kanak-kanak, bila pagi menjelang sering terdengar suara drum band dari kejauhan, berulang-ulang dan merdu sekali. Bila ada angin berhembus suaranya lebih mendayu, meliuk-liuk, menyayat-nyayat,  seakan musik kesedihan pengantar  kubur.

Sayup-sayup hilang pergi, kadang terdengar samar, lalu dalam selisih detik terdengar jelas. Bila suara aneh itu kutanyakan kepada bapak dijawab bahwa itu tentara sedang latihan. Bila bertanya lagi di mana, dijawab di Wedi, sebelah barat daya Klaten. Bila adzan Subuh bergema musik itu berhenti, tapi sering pula berlanjut sampai matahari bersinar. Biasanya, setelah mendapat jawaban begitu aku tak mempedulikannya. Dan, itu berlangsung selama bertahun-tahun.  Seiring waktu  kudapat cerita kalau suara-suara itu adalah drum band hantu. Bapak selama ini bohong, hanya asal menjawab karena di wilayah  Wedi tidak ada barak militer, yang ada rumah sakit jiwa dan Kali Wedi sungai pasir yang berhulu di Merapi.  Konon, Kali Wedi dijadikan kuburan massal anggota pe-ka-i. Asal-muasal suara tambur itu, kata orang-orang, bermula dari situ. Karena sebelum tahun enam puluh  lima suara drum band subuh itu belum pernah ada.
Pak Tajab, guru agamaku di es-em-pe, bercerita pernah ditugaskan menendangi kepala yang dipancung di sana. Liang kubur sudah menanti di bawah, begitu kepalanya menggelundung maka sisa tubuhnya didorong jatuh, bertindih-tindih. Setelah lubang penuh, eksekusi pindah ke lubang lainnya, begitu seterusnya. “Tidak sampai hati melihatnya, sehingga aku melakukannya sambil menatap langit. Kubayangkan yang kutendang itu bola!”
Cerita Mbah Mul lebih menguak misteri. Dia sendiri dicopot dari jabatan lurah, dibui, dan ka-te-penya dicap khusus. Saat musim pengganyangan, karena salah satu warganya yang pentolan pe-ka-i belum ditemukan, dia dijadikan sandera dan diarak. Bila tidak ditemukan, kepalanya sebagai ganti. Orang itu tertangkap, bersembunyi di pyan. Katanya,  ada grup drum band dan pelatihnya yang dibantai di sungai pasir itu. Si pelatih bernama Sujud, guru seni es-em-a negeri yang masih muda, berasal dari desa Cetan sebelah timur Pabrik Gula Ceper.
“Kalau dia pegang tambur siapa pun akan tersihir oleh keahliannya!” ujar Mbah Mul. Sujud juga ahli di bidang musik, tari, wayang, dan ketoprak. Bakat turunan dari kakeknya yang seorang dalang terkenal di masanya.  “Dia orang bayaran, bukan aktivis atau anggota partai!”
Menjelang kejadian memilukan itu Sujud diminta melatih drum band untuk menyambut kedatangan pembesar partai yang akan berkampanye di lapangan Kurung. Kunjungan itu tidak pernah terjadi, karena sejarah berbelok ke arah lain. Sujud terjebak dan dikhianati.   
“Tapi ada yang mengatakan Sujud dieksekusi di Goa Luweng, sebuah lubang di wilayah Gunung Kidul yang tembus laut selatan. Sehingga jasadnya hilang tertelan ombak. Tapi kalau dibunuh di situ, lalu arwah siapa yang bermain tambur dengan indah di Kali Wedi?” kata Mbah Mul, meyakinkan.  
“Dram-tum-tum-dram! Dram-tum-tum-dram!”
Mengapa kutunjuk Kang Sujud,” bisik Gangsir, lirih. Sebuah parang digenggamnya kencang. Ditujunya makam di pojok dusun, dipandanginya nanar,  seolah ada yang mengendap di balik nisan-nisan. Dia berbalik, meninggalkan kuburan, lalu menyusuri jalan yang sama. “Mengapa kutunjuk Kang Sujud?” ulangnya, hampir tak terdengar oleh telinganya sendiri. Di buk tepi jalan, dia duduk bersila. Dicabutnya dua lenjar ilalang, dipegangnya kiri kanan, mulutnya bersuluk layaknya dalang, lalu berdialog sendiri: “Apakah kamu pe-ka-i?” Bukan! Bila begitu bunuhlah pe-ka-i. Bawa kepalanya ke sini, bila tidak, maka nyawamu sebagai ganti! Tidak!”
Lalu rumput ilalang itu diperangkannya seperti wayang kulit, mulutnya menggameli menirukan suara kendang.
Beberapa lelaki memberanikan diri keluar rumah, mendekati Gangsir dengan penuh perhitungan. “Maaf, ya, Kang, kami hendak merantaimu lagi!” kata Kimpul, lirih. Gangsir diam, parangnya dijatuhkan. Gangsir diisolasi di rumah kosong samping kuburan. Setelah itu warga menunggu-nunggu teriakan minta tolongnya, karena itu pertanda kesembuhannya. Tahun berikutnya, bila menginjak akhir bulan September, penyakit gilanya kambuh lagi. Jadi, selain tanggal kelahiran, Gangsir juga punya tanggal kekambuhan. Sejak kapan dia jadi si kambuh? Sejak rasa kebersalahannya pada Sujud dan teman-temannya tak tertanggungkan.
“Kang Sujud, kapan kita latihan!” tanya Gangsir, kala itu.
“Nanti sore!” jawab Sujud. Sorenya tidak jadi latihan karena bapaknya Trimo meninggal sehingga mereka harus melayat. Sehari sesudahnya mereka kecewa lagi karena Sujud tak kunjung muncul tanpa alasan jelas.
“Apakah honor Kang Sujud belum dibayarkan sehingga ogah-ogahan melatih!” bisik Tarjo Cethol.
“Ah, itu bukan sifatnya!” kata Joko Udet. “Mungkin ada  urusan lain!”
“Mengapa Kang Sujud tidak bersedia masuk partai?” bisik Gangsir.
“Masuk partai atau tidak itu haknya! Dia bersedia melatih saja seharusnya kita bersyukur!”  balas Bondan Kampret.
“Karena dia cari duit!” kata Parno Thontho, sinis.
“Bukan hanya itu, Kang Sujud juga mengincar Sebloh,” bisik Gangsir, tak suka. Sebloh adalah anak Kanjeng Prenjak, juragan tembakau yang jadi pimpinan partai tingkat kecamatan. Malah kantor partai berada di rumahnya yang besar. Anaknya cantik dan moblong-moblong. Oleh bapaknya, Sebloh sengaja dipasang untuk menarik para muda agar masuk partai. Sujud beruntung karena Sebloh jatuh cinta kepadanya, dan itu sangat dimanfaatkan oleh Kanjeng Prenjak. Sujud disuruhnya melatih pemuda-pemudi partai, bukan hanya di tingkat kecamatan tapi juga kabupaten. Sehingga tahunya orang, Sujud adalah orang partai yang segera jadi menantunya. Banyak yang tak suka atas keberuntungan itu, khususnya Gangsir yang membibit birahi sampai ujung ubun-ubun kepada Sebloh. Ketika gladi resik tiba tak satu pun anak latihnya datang ke lapangan. Dengan kecewa Sujud mengayuh sepeda ke rumah Kanjeng Prenjak, arah Ngeseng, dekat stasiun. Sesampainya dia melihat kesibukan Kanjeng Prenjak dan orang-orang partai yang luar biasa. Tampaknya tak ada hubungannya dengan penyambutan pembesar partai. Orang-orang yang dikenalnya itu tampak asing di matanya, berwajah bengis dengan mata memerah, layaknya kekenyangan arak.
Kanjeng Prenjak membeberkan kertas yang berisi nama-nama lawan politiknya, lalu berkata,  “Kalian culik mereka, bila melawan terserah kalian, mau diapakan!” Orang-orang itu bergerak, di balik bajunya tersembul gagang golok dan keris. Sujud tidak menemukan Sebloh, lalu tergesa pulang. Besoknya kembali lagi untuk memastikan keberadaan kekasihnya, tetapi selalu nihil, yang didapat hanya bisik-bisik tentang pembantaian-pembantaian. Tetapi tidak sampai seminggu keadaan berbalik, orang-orang yang semula memburu jadi diburu. Tentara dibantu ormas musuh pe-ka-i melakukan pengganyangan. Kepanikan terjadi, kematian  ada di mana-mana. Harga nyawa tak lebih dari arah telunjuk. 
Bagimana dengan Sujud? Saat pulang mengajar, di tikungan Mlese,  dia berpapasan dengan jeep tentara yang mendadak berhenti. Begitu melihat Kanjeng Prenjak berada di mobil itu, Sujud menghentikan sepeda. Saat itulah Kanjeng Prenjak berteriak  menyuruhnya lari. Sujud tidak buang-buang waktu, ditinggalkannya sepeda, melompat ke tanggul lalu menerobos tanaman tebu. Letusan senapan terdengar beruntun dan merobohkan beberapa tebu. Dia berlari dan berlari, semakin  jauh. Saat beristirahat di sebuah kuburan dilihatnya beberapa bangkai manusia dikerubuti  burung gagak, berbau busuk, dan sangat menjijikkan. Bisa saja dia pergi jauh, tapi mboknya yang uzur membuatnya pulang kandang.  Keesokan harinya datanglah Gangsir bersama puluhan tentara. 
“Mana Kang Sujud?” terdengar suara Gangsir, bergetar.
“Mana Sujud!” bentak tentara pada mboknya yang menangis ketakutan. Sujud keluar rumah, dipandanginya Gangsir dengan mata setajam elang. Gangsir terkesima, tak berani menatap mata itu.
“Aku titip Simbok!” kata Sujud, lirih.
Gangsir mengangguk dan dia satu-satunya anggota drum band yang selamat. Sujud sungkem di kaki mboknya, lalu digiring tentara menuju truk.  Meski kakinya diikat, pada satu kesempatan, di jalan tak jauh dari pabrik gula, Sujud melompat dari truk. Tentara langsung memberondongnya dengan tembakan, tapi Sujud tak lecet sedikit pun.  Sujud tertangkap lagi, lalu lehernya diikat dadung layaknya kerbau.
Kisah eksekusi Sujud tampaknya yang paling ‘nggegirisi’, dan ini jadi legenda yang diceritakan secara bisik-bisik selama tiga puluh dua tahun. Karena ilmu kebalnya, dia mengalami penyiksaan yang luar biasa, yang paling bengis. Truk militer menyeret tubuhnya yang hampir telanjang, yang melenguh-lenguh seperti suara sapi. Sepanjang jalan tubuhnya terantuk batu, inthil,  dan tlethong. Ketika minta air karena kehausan, ada sipil yang memelorotkan celana dan mengencingi mukanya.  Tentang penyiksaan Sujud, pamanku berkali-kali bercerita bahwa dia yang kala itu masih kelas tiga es-de menyaksikannya sampai muntah-muntah saking jijiknya. Anehnya, meskipun tali kasar menjerat leher dan ditarik-tarik,  Sujud tidak mati-mati. Penyeretan berhenti di Dusun Karangasem, Sujud disiksa lagi dengan tangan  diborgol. Pada satu kesempatan Sujud berhasil menggigit leher salah satu tentara sampai mati. Sujud pun diseret-seret lagi dengan truk,  seperti bangkai anjing, menuju Kali Wedi. Konon, karena bosan disiksa, Sujud buka rahasia, disuruhnya tentara mencoblos siku tangan kanannya dengan lidi. Setelah itu, peluru bisa menembus jantungnya.
“Dram-tum-tum-dram! Dram-tum-tum-dram!” Pada tahun 1980-an, masa jaya-jayanya judi buntut, pernah ada yang bertapa di tepi sungai pasir itu. Di gumuk, gundukan tanah angker, yang diperkirakan kuburan Sujud. Orang tersebut mendapat empat angka jitu, sehingga berbondong-bondonglah  orang mencari wangsit di situ.  Lalu tempat itu dijaga polisi, tak ada yang diizinkan bersemedi atau bakar kemenyan. Sekarang, bila pulang ke Klaten dan terbangun pada jam yang sama, kutunggu-tunggu suara drum band subuh itu. Tapi sudah tak terdengar lagi. “Mungkin roh mereka sudah tenang, sudah tidak terselimuti dendam!” ujar mereka yang sok tahu dunia arwah. Wah!
Klaten, 27 Juni 2006




Laki-laki Yang Dikibarkan

Di kolong jembatan tak jauh dari Malioboro,
 ditemukan mayat gelandangan yang sudah membusuk. Tanpa diotopsi dinas sosial  setempat segera menguburnya. Di nisannya tak tertulis apa pun,
betul-betul blank, tidak dikenali.

Tak ada yang tahu kalau semasa hidupnya pemilik jasad itu diuber-uber banyak orang. Bukan karena maling, merampok, atau memperkosa. Sama sekali bukan itu. Ia telah dijadikan bendera dan dikerek tinggi-tinggi meskipun sebelumnya hanya gombal yang tak pantas diinjak kaki. Ia telah dianggap muksa, hilang  bersama raganya karena suci, layaknya Syech Siti Jenar atau lainnya. Padahal lalat titip telur dan larva di tubuhnya yang kaku di pinggir sungai yang membelah kota. 
Sebetulnya ia hidup normal-normal saja sampai akhirnya dianggap berdosa. Ia mengomentari tetangganya yang  tak henti-henti merehab masjid. Bukan pembangunannya yang ia tentang, tapi pencarian dana yang mengemis kesana-kemari. Saat masih  berupa mushola kumuh  memang pantas dilayakkan. Tapi saat sudah jadi masjid yang layak, bagi mereka yang sebagian besar hanya buruh tani dan tukang batu,  mau diapakan lagi? Ketika masjid itu hendak direhab lagi, mengganti tegelnya  dengan keramik,  ia tak tahan dan angkat bicara. Dan  itu disampaikan sehabis Jumatan, saat masih ramai-ramainya orang.
“Jangan memanjakan diri! Pualam atau keramik hanya  memanjakan pantat dan jidat. Atau biar kita tertantang untuk tidur-tiduran di masjid, kenapa tidak di-ac sekalian? Jangan jadikan masjid barang mewah untuk dipamerkan!” Hasilnya? Ia dihadiahi batu-bata dan beberapa geraham kiri atasnya rompal.
Sebetulnya ia berharap agar warga tidak hanya berpikir masjid dan masjid saja,  sementara banyak di antara mereka yang hidupnya tidak pasti karena usia lanjut dan sebatang kara. Ia harap ada kas dusun untuk menyantuni para jompo agar tidak jadi pengemis. Tapi tetangganya lebih suka menanam budi di tembok, ubin, batu bata, blandar, dan kubah masjid, amal yang katanya tak pernah putus jika berbuat baik kepada rumah Allah.
“Allah tak butuh rumah!” sergahnya, dan kepalanya benjut ditumbuk alu.  Mulai saat itu ia tak pernah nongol di masjid. Lalu ia hanya ke sawah dan ke sawah. Kalau tak ada yang dikerjakan ia hanya duduk mencangkung atau tidur-tiduran di tanggul. Laki-laki itu bernama Genggong. Pernah berkeluarga tapi tak punya anak karena istrinya keburu minta cerai ketika tahu pikirannya tidak waras. Ketika itu istrinya mengeluh kenapa tidak ditakdirkan jadi orang kaya agar bisa berdoa di  depan Kakbah, karena doa di sana sangat makbul dan pasti terkabul. Ia malah bergumam nyinyir dan berkata,   “Kalau masih berpikir seperti itu kamu tidak pernah kuizinkan ke sana. Kakbah hanyalah tumpukan batu yang disusun Ibarahim dan Ismail, bukan Tuhan!”
Istrinya yang anak modin jengah. Lalu  disebarkanlah pernyataan itu sehingga beredar berita kalau suaminya telah menghina agama. Kebencian warga padanya pun berlipat-lipat. Tetapi keanehan terjadi. Banyak orang bermobil datang ke dusun  dan menanyakan Genggong. Mereka baru pulang dari tanah suci, katanya mereka bertemu Genggong di sana. Ada yang ditolong saat terjatuh melempar jumrah dan ada pula yang ditolong saat tersesat jalan di Masjidil Haram.
Warga dusun melongo mendengar cerita itu, “Masak iya, sih?”
“Tak mungkin!”
“Genggong tak pernah pergi jauh! Paling banter pergi ke pasar membeli sabit atau gagang cangkul!”
“Mana mungkin orang semelarat dia bisa pergi haji!”
“Apalagi dia orang murtad!”
Tapi orang-orang yang datang bersikukuh dan mengeluarkan foto ketika berpose bersama Genggong. Gigi atasnya yang gingsul, yang menuding ke depan dan menembus bibir sehingga tampak sumbing, tak mungkin berbohong. Tapi Genggong sendiri berkilah kalau punya saudara kembar yang persis dirinya yang jadi sopir taksi di Arab Saudi. Tapi ketika ada yang melacak di KBRI sana tak ada orang seperti itu. Dari tahun ke tahun makin banyak yang datang mencarinya. Tapi mereka harus kecewa karena Genggong tak pernah ditemukan.   Tak ada yang tahu ke mana perginya. Lalu ada yang memergoki Genggong sering pergi ke warung remang-remang di alun-alun kota kabupaten. Pulangnya membawa bir yang sehabis diteguk botolnya dilempar ke samping rumah.
“Orang gemblung mana mungkin ingat kiblat!” seru tetangganya sinis. Ia makin tidak diabaikan.
Suatu hari ada tetangganya yang kebingungan karena sapinya dibawa maling.   Genggong datang meludahinya. Tentu saja peludahan itu menimbulkan reaksi keras sehingga ia dikeroyok sampai pingsan. Tapi beberapa jam kemudian sapi itu pulang dengan menyeret malingnya yang linglung. Berita peludahan Genggong dan pulangnya si sapi tersebar cepat ke mana-mana. Lalu orang berbondong-bondong menuju rumahnya hendak minta pertolongan. Tapi yang dicari sudah minggat. Mereka lalu berbondong mencarinya di sawah, tempat ia biasa mangkal. Tidak ada juga. Mereka hanya menemukan sesuatu yang ganjil di tanggul yang biasa dipakai Genggong termenung. “Tanggulnya sangat halus seperti karpet!”
“Bukan karpet, tapi sajadah!”
“Ada relief  masjid di rumputnya!”
“Apakah tanggul ini membujur ke arah barat?”
“Ya ke arah kiblat!” seru yang lain. Mereka pun berebut mencari air untuk berwudlu dan bergantian sembahyang di tanggul itu. Lalu semua benda yang berhubungan dengan Genggong menjadi peziarahan yang ramai. Ia mulai jadi tokoh antara ada dan tiada yang kemunculannya ditunggu-tunggu, layaknya wangsit.
Di mana Genggong sebenarnya? Pernah ada yang menemukannya di kota bersama para gelandangan. Mungkin saja ia tidur di rumah kosong, kolong jembatan,  atau tidur di sela-sela rumpun padi atau di tengah kerimbunan bambu bersama kodok dan ular. “Jangan-jangan yang menggelandang itu tubuhnya. Sedangkan ruhnya terbang ke mana-mana?” desis tetua dusun yang diamini oleh lainnya.
Makin banyaknya orang asing yang datang mencari Genggong menjadikan warga dusun berembug di masjid  membahasnya. Dicapai kesepakatan untuk minta tolong kepada warga satu kecamatan yang akan naik haji untuk mencari Genggong di sana. Tapi percuma saja. Anehnya, selisih beberapa hari ada yang datang dan bercerita bertemu Genggong di sana. Warga dusun tak habis pikir, sudah mulai ketir-ketir lagi  takut kena kutuk. Lalu diadakan rapat lagi dan diputuskan untuk memberangkatkan  salah satu warga dusun ke Mekah, dan biaya ditanggung bersama.
“Tapi bagaimana dengan niatnya?” tanya tetua dusun yang terpilih mewakili mereka.
Mereka saling berpandangan tapi akhirnya ada yang berkata, “Pandai-pandailah bapak membagi niat!” Saat tetua dusun pergi haji, warga memutuskan mendobrak rumah Genggong yang telah bertahun-tahun terkunci,  khawatir jadi sarang nyamuk dan hantu. Mereka menemukan beberapa gallon air mineral yang berisi air, bukan air melainkan bir!
“Jadi selama ini ia hanya pura-pura saja minum bir?”
“Ya, bir itu disuntak di sini!”
“Wah, jadi ke warung remang-remang bukan untuk mabuk atau berzina! Hanya untuk menutupi kesuciannya! Genggong semakin misterius. Tetua dusun yang pulang dengan oleh-oleh air zam-zam dan kurma ternyata tak menemukan Genggong.
“Barangkali saja niat pak tetua sudah berubah!” seru seorang warga dusun yang merasa kecewa. Yang lebih menghebohkan lagi ketika datang beberapa gelandangan datang ke dusunnya lalu menyampaikan cerita yang lebih muskil. Mereka bercerita kalau habis berjalan-jalan ke tanah suci bersama Genggong. Malah bukan ke sana saja tapi juga ke tempat-tempat suci lainnya.
“Pernah saya diajak shalat dia, dan saya betul-betul berada di depan Kakbah. Tepat di depan Kakbah karena saya bisa menyentuhnya!” kata salah satu gembel sambil tersedu-sedu terharu. Warga dusun makin berkerumun dan semakin menyadari kekeliruannya tentang Genggong. Setelah gembel-gembel pergi mereka membentuk panitia yang tugas utamanya membawa Genggong pulang ke dusun.
“Intan ditumpukan tai kerbau tetaplah intan!”  kata mereka beramai-ramai. Mereka juga pasang iklan di koran mencari sedulur  yang hilang, tapi hasilnya nihil. Setelah jalan normal tidak membuahkan hasil mereka memakai jasa orang pintar tapi tetap saja tak terlacak dan para dukun merasa kalah tinggi ilmunya. “Qodam Genggong terlalu tinggi!”  jawab mereka kalau ditanya  mengapa gagal. Warga dusun juga mengadakan kenduri untuk memberi nama baru, sehingga namanya bertambah panjang sedikit menjadi Gus Genggong di singkat Gus Ge. Bukan Gus Gong, takut disangka Gus Bagong.
Suatu pagi di kebunnya  ada asap tebal. Gus Genggong terlihat sedang membakar sampah dan berdiang dengan rambutnya yang gimbal. Tak ada yang berani mendekat karena merasa kotor dan tidak pantas bercakap dengan wali agung. Tetua dusun yang dilapori kakinya mendadak kesemutan yang amat sangat sehingga tak bisa menemuinya. Tapi itu hanya sebentar, karena Gus Genggong pergi lagi menuju arah timur. Sepeninggalnya para tetangga berebut mencari benda-benda yang disentuhnya, sebagai jimat. Ada yang mengambil daun yang menampung air ludahnya tanpa jijik sama sekali. Ada yang mencongkel tanah jejak kakinya. Ada yang mengendus mencari air seninya. Malah ada juga yang menyusuri sungai kecil di depan rumahnya, siapa tahu beruntung mendapat benda yang dibuang pantatnya.
Gus Genggong semakin tersohor. Rumah, kebun, dan sawahnya banyak disambangi orang yang napak tilas. Da, itu membawa berkah bagi dusunnya karena warga bisa mendapat duit dari titipan sepeda, motor, mobil, juga mereka yang membutuhkan rokok, makan, dan jajanan lainnya. Dusun itu telah berubah layaknya pasar malam. Kas dusun semakin gemuk dan sangat gemuk sehingga masjidnya telah diperluas, diperindah,  dan telah jadi mercusuar di kabupaten. Seandainya sehari setelah ditemukannya mayat itu warga desanya membaca koran maka mereka akan kecewa. Karena kematian si maskot dusun tak ubahnya kematian tikus got. Tak ada sinar terang atau bau wangi yang keluar dari jasadnya layaknya orang suci-orang suci yang wafat. Tapi seandainya tahu, boleh jadi,  warga dusun akan beramai-ramai tutup mulut dan menolak jasadnya. Karena kematian Gus Genggong harus bercahaya dan wangi, bukannya berulat.
Jakarta, 27 Maret 2006
Keterangan:
Rompal: copot, patah
Modin: penghulu agama desa
Qodam: jin pendamping
Sedulur: saudara
Gimbal: rambutnya lengket karena tak pernah disisir





Sang Pengumpat

Apakah makam kecil ini ikut dibongkar dan dikubur ulang?”
Dalam sedu sedan istri almarhum mengangguk. Beberapa orang memperhatikan makam kecil di samping rumah si mati, yang hanya seukuran kepalan tangan. Bagi yang tidak tahu bisa disangka sisa adukan semen yang tercecer dan kering.


Itu bukanlah makam trek yang keguguran. Almarhum sering bercerita kalau dirinya merawat  makam itu baik-baik,  layaknya merawat makam leluhur dengan menaburi serpihan mawar dan asap kemenyan. Katanya pula, setiap kali melihat makam itu, dia akan berlama-lama memandangi tangan kanannya dan merasa sangat  bersalah.  Makam itu kuburan dari sebagian tubuhnya yang telah mati, lebih tepatnya, yang dibunuhnya sendiri. Semasa hidup dia jadi raja kolong di jembatan penyeberangan di depan sebuah gereja. Mikrolet, metromini, atau bis reguler yang menaikkan penumpang di wilayahnya tak bisa melenggang tanpa memberinya upeti. Tapi yang benar-benar dikuasainya mikrolet jurusan Kampung Melayu-Senen. Ada ciri khas pada tangan kanannya, di jempolnya tumbuh anak jari sehingga layaknya bercabang. Kalau tangannya itu menirukan bentuk pistol, maka anak jarinya sebagai pelatuk. Orang-orang memanggilnya Punjul. Mungkin hanya poyokan saja, untuk menunjuk keganjilan tangannya. Arti kata “punjul” adalah lebih, dan dia memang berkelebihan jari. Raja kolong itu yang menentukan mana-mana mikrolet yang boleh ngetem di wilayahnya. Yang lebih hebat lagi adalah mulutnya. Tapi bukan bentuk bibir atau giginya yang kuning karena nikotin, melainkan umpatan yang dihasilkannya. 
“Adam!” teriaknya setiap kali kesal kepada sopir yang dianggap kurang ajar. Mula-mula kusangka dia marah kepada sopir mikrolet yang bernama Adam. Tapi begitu mikrolet itu pergi dia masih juga mengumpat dengan kata yang sama. Kusangka ada beberapa nama Adam di tempat itu. Ternyata memang begitulah umpatannya setiap kesal dan marah, dan dia gampang sekali kesal sehingga sering mengumpat. Tampaknya kata Adam tak berbeda dengan umpatan “anjing!, “babi!, atau “bedebah!”. Seakan-akan kata Adam itu paling kotor dan menjijikkan, melebihi jenis kotoran lainnya. 
“Mungkin dia latah!” gumam seorang suster gereja yang risih dengan umpatannya. Toh, saat dikejutkan rekannya dari belakang dia tidak mengalami kelatahan. Jadi itu memang umpatannya, bukan latah. Umpatan khas itu pula yang dulu mengusikku, yang membuatku ingin berkenalan dengannya.
“Kalau tahu wayang seharusnya aku dipanggil Janoko, bukan Punjul!” katanya saat kami bercakap pertama kali. Janoko adalah nama lain Arjuna, tokoh wayang yang paling tampan sejagad raya. “Tapi kalau Janoko-nya seperti ini terus bagaimana bentuk Buto Cakil-nya!” ujarnya sambil tertawa. Memang dalam kisah pewayangan Janoko juga memiliki jari lebih. Ceritanya, Palgunadi dianggap bersalah karena membuat patung Durno tanpa izin. Patung itu oleh Palgunadi dijadikan guru dalam berlatih memanah sampai begitu mahir, karena seolah-olah dia ditunggui Durno. Janoko iri hati lalu lapor kepada Durno. Ibu jari Palgunadi lalu dipotong oleh Durno dan ditempel pada tangan Janoko. Palgunadi sendiri pilih bunuh diri karena penghinaan itu. Sementara bagi Janoko jadi kutukan karena ketampanannya ternoda oleh jari tangan yang berjumlah sebelas.     
Ketika menanyakan pekerjaanku, kujawab pengarang lalu kupinjami buku Pintar Islam Bergambar karyaku. Saat membaca kisah penciptaan Adam dia meradang. Dicampakkan buku itu layaknya milik sendiri. “Maaf!” ujarnya ketika menyadari kesalahannya. Diambilnya buku itu dan dikembalikan kepadaku. “Kalau aku jadi kamu, kisah ini tidak akan pernah kutulis!” gumamnya lirih.
“Mengapa?” tanyaku heran.
“Terkutuklah dia!” sungutnya. “Bila dia tak terusir dari surga amanlah kita! Tidak pernah susah seperti ini!” Saat mulutku hendak mengatakan sesuatu dicegahnya dengan gerakan tangan. “Jangan mengguruiku! Apakah kamu ingin aku mengutuki Iblis? Tidak, itu bukan salah si Sibli. Adam yang seharusnya disalahkan! Itu kalau kita bukan pengecut dan pencari kambing hitam! Andai Adam tidak sebodoh itu maka kita tidak seperti ini!” Aku diam saja, merenungkan kata-katanya. Sejak itu kami jadi akrab, bahkan aku pernah diajak ke rumahnya yang tak jauh dari Stasiun Jatinegara.
Lalu kami pernah tak bertemu lama.  Saat bersua lagi tak kulihat anak jari di jempolnya, hanya ada bekas luka seperti batang pohon yang ditebas parang. Ketika kutanyakan berceritalah dia. Mula-mula tentang mimpi aneh yang didapatnya, layaknya mimpi Ibrahim yang disuruh berkorban. Tapi bukan anaknya yang diminta, melainkan anak jempolnya. “Tetaklah anak jarimu di atas kayu rata!” katanya menirukan kata-kata yang didapat dalam mimpi. “Orang yang menyuruhku berbaju putih!” Mimpi itu tidak saja hadir ketika dia tidur, bahkan saat berkedip pun mimpi itu datang. Lantas dia tak pernah bisa tidur nyenyak atau berkedip dengan nyaman. Sungguh amat tersiksa.   
Suatu hari dia bertemu pendeta, dan pengkhotbah itu meluangkan waktu sejenak untuk mendengarkan cerita tentang mimpi-mimpinya. “Mungkin ada hubungannya dengan mulut Anda!” kata pendeta itu singkat dan pergi. Mungkin pendeta itu sudah mendapat laporan tentang umpatannya dari jemaat atau suster gereja.
Disumpahinya pendeta itu dengan berteriak marah, “Adam!”
Dia sempat menafsirkan mimpi itu dengan perseteruannya melawan Dirjan, sulungnya yang pemabuk. Si perongrong itu sudah lama menganggur dan istrinya tiap tahun buncit dan melahirkan. Dicarinya anak pahat di kotak alat pertukangan, dipilihnya yang paling lancip. Diukurnya untuk mengetahui kedalamannya andai ditancapkan di  dada Dirjan, ke arah jantung. Didapatinya. Lalu dicarinya  gerinda lalu diasahnya anak pahat itu sampai mingis-mingis. Dibayangkannya menusuk rusuk anaknya seperti menancapkan kayu salib di dada drakula layaknya film-film horor. Dirjan suka ngorok telentang di gardu ketika mabuk, dan itu pekerjaan empuk, pikirnya. Tapi demi melihat perut menantunya yang buncit ragulah dirinya, tak sampai hati membayangkan cucu-cucunya jadi yatim. Lalu ditafsir ulang mimpinya,  dan teringat kata-kata pendeta yang sempat diumpatinyai. Tapi dia tidak tahu bagaimana harus bertindak terhadap mulutnya.
Suatu hari ada orang bersurban menyuruhnya untuk diruqiyah, mengusir setan dari tubuhnya. Tapi dia harus menyiapkan uang. Demi bebas dari mimpi gila itu diterimanya saran itu. “Latihan shalat khusuk saja membayar, apalagi mengusir setan yang mengharuskan kami terengah-engah!” jawab tukang ruqiyah, ketika dia meminta keringanan biaya.
“Kalau begitu mengapa aku harus diruqiyah?”  
“Karena mulut Pak Punjul dipinjam Iblis untuk mengutuki Adam!” jawab tukang ruqiyah, sambil menyiapkan tasbih.  Setelah selesai tukang ruqiyah berharap dia tidak mengumpat lagi. “Semoga Pak Punjul tidak mengumpat-ngumpat lagi!”
“Kalau mengumpat dengan kata-kata lain bagaimana?” 
“Tetap saja tidak baik!” jawab tukang ruqiyah. Selama seminggu mimpi-mimpi itu tidak hadir dan dia senang sekali bisa tidur nyenyak. Tapi setelah sepuluh hari lewat mimpinya datang lagi dan umpatannya khasnya juga kambuh lagi. Dia kembali ke tempat ruqiyah karena dijanjikan garansi, dan dia diruqiyah lagi dengan gratis. Toh, hanya sesaat saja dia sembuh dari mimpi dan umpatannya. Tukang ruqiyah sampai bingung dibuatnya. Akhirnya tukang ruqiyah menyimpulkan bahwa anak jarinya sebagai sumber masalah. 
“Apakah kutil Pak Punjul sudah ada sejak lahir?” tanya tukang ruqiyah, sambil menunjuk anak jarinya. “Atau hanya tertempel layaknya benalu, yang datang pada saat umur tertentu?”
“Ini bukan kutil. Anak jari ini ada sejak aku lahir!” kata raja kolong tersinggung,  karena anak jarinya dianggap kutil dan benalu. “Dari kecil sudah seperti ini, dan ikut membesar seiring usiaku!”
“Kami pikir anak jari itu yang membuat Pak Punjul seperti ini. Daging dan tulang anak jari itu titipan dari neraka!”
“Apa maksudmu?” tanyanya berang.
“Anak jari itu titipan Iblis!”
Dia berdiri dan meradang, jarinya menunjuk-nunjuk muka tukang ruqiyah. “Adam! Jangan mencari kambing hitam bila tidak bisa menyelesaikan masalah! Kembalikan duitku! Dasar Adam!”  Sejak saat itu dia mulai berpikir tentang Dirjan lagi. Sudah berbulat hati hendak menghabisi anaknya. Suatu malam dicarinya Dirjan. Begitu sampai di gardu yang biasa dipakai mabuk Dirjan dihunuslah anak pahatnya. Digenggam erat di tangan kanan, hanya anak jempolnya saja yang tidak ikut  mencengkeram gagang pahat karena tak bisa ditekuk. Diamatinya mereka yang tertidur dengan busa di mulut, yang sebentar-sebentar sendawa dan kentut.
“Mencari siapa?” cerincau salah satu orang yang tergeletak dengan abab seperti sepiritus. Tampaknya orang itu belum mabuk betul, “Dirjan sudah pulang!” Tiba-tiba dilihatnya seseorang datang. Dari gaya jalannya dia hafal. Semakin erat dan tegang tangannya menggenggam anak pahat yang sudah haus darah dan jantung.
“Pak, cucumu sudah lahir!” kata Dirjan.
Mendengar berita itu secepat kilat dipindahkan pahat ke tangan kiri, secepat kilat pula ditebaslah anak jempolnya. Anak jarinya terjatuh ke tanah. Sempat didengarnya suara memiyek layaknya anak ayam  yang kehilangan induk. Ketika matanya berkunang, karena terlalu banyak mengeluarkan darah, Dirjan membawanya ke klinik tak jauh dari gardu. Dokter membebat lukanya. Paginya dicarilah sebagian tubuh itu. “Untung belum ada kucing yang datang ke situ!” katanya, bersyukur. Potongan anak jarinya dimakamkan, dan mimpi jahatnya hilang tak pernah muncul lagi. Bagaimana dengan mulutnya? Ternyata umpatan khasnya tidak pernah sembuh atau berganti. 
Akhirnya, saat jenazah hendak diberangkatkan, dicongkellah makam kecil itu dengan linggis, hanya sekali congkel lalu ikut dibawa ke kuburan. Makam kecil dan jasadnya disatukan dalam liang lahat. Di kayu nisannya tertulis nama Zakhrawi Ahmad, bukan Punjul. Kupikir, anak jarinya lebih beruntung bila dibandingkan dengan nasib irisan telinga pelukis Van Gogh.  

Jakarta, 2 Maret 2006
Catatan:
Trek: janin yang mati
Mingis-mingis: sangat tajam




Gubuk Kecil Berpindah-pindah


Awas, jangan dekat-dekat mereka!” teriak seorang perempuan
 kepada anaknya yang sedang mengintip arus penebang tebu
yang didrop truk-truk  butut lewat lobang jendela.


Tapi ketika perempuan itu lengah, Ni yang saat itu baru berusia sembilan tahun, berlari keluar. Lalu bersama teman-temannya menyongsong rombongan orang memikul tangga bambu, sabit, dandang, dan tali bambu  yang   gegap gempita menyerbu tebu.  Pakaian mereka sangat rapat untuk menghindari goresan daun tebu dan gelugutnya, kumal dan tampak berminggu-minggu tidak dicuci. Hampir semuanya bertopi. Yang tidak bertopi memakai penutup kepala ala ninja sehingga hanya mata dan lubang hidungnya yang kelihatan. Anak-anak larut dalam laskar pemetik tebu yang  berteriak riuh rendah mirip lebah pindah rumah. Mereka sering tertawa ngikik dan terhibur bila ada penebang yang memperagakan gerakan-gerakan seronok. Bahkan mereka berharap orang-orang tersebut mengulang adegan-adegan itu. Sesekali terdengar tawa ngakak dan teriakan kata-kata kotor di antara sela-sela suara tebu roboh. Nama-nama aurat mereka umbar dengan kata-kata yang keras, seolah-olah langit gembira  mendengarnya. Apalagi kalau ada perempuan lewat, terutama bila yang lewat itu sangat ranum, kata-kata kotornya semakin murah sehingga Ni berdoa agar ibu dan kakak perempuannya tidak keluar rumah. Tapi tidak semua kasar, ada juga yang saleh yang suka numpang shalat di teras rumahnya, tetapi itu hanya sedikit. 
Kekhawatiran ibunya mungkin berlebihan. Tetapi kecemasan-kecemasan seperti itu sering membuat Ni kebingungan. Juga ketika dirinya ditabukan menyebut-nyebut nama Pasar Mati. Padahal yang disebut Pasar Mati itu tak lebih dari beberapa rumah reot dengan perempuan-perempuan berbedak menor. Bila mulutnya  lancang menyebut tempat itu maka induknya tak sungkan-sungkap menapuk mulutnya. Ia makin bingung ketika temannya menangis malu saat diolok-olok kalau bapaknya sering bertandang ke sana.  Juga ketika ada  pedagang sate yang diseret pulang  oleh istrinya saat menginap di bekas pasar itu. Seiring usia Ni bisa meraba jawabannya, ternyata itu tempat pelacuran.
Semakin dewasa didapatinya kisah yang lebih heboh, yang diperoleh dari bisikan-bisikan orang di jalanan. Cerita yang melibatkan perempuan tua pedagang bunga tabur dengan buruh tebang tebu. Tentang gubuk kecil yang berpindah-pindah. Kisah itu tak boleh jatuh ke telinga orang asing karena menyangkut nama baik desa sehingga orang luar hanya dapat mencuri kisah itu sepotong-sepotong dan tidak utuh. Cerita yang terputus-putus itu membuat telinga Ni gatal sampai akhirnya dia bertekad menelisiknya agar menjadi cerita yang lengkap. Sayangnya dia tak bisa mengorek keterangan si pemeran utama karena lidahnya tinggal separo karena dipotong orang.
Konon nenek itu pernah menjadi idola yang paling diimpikan, menggemparkan,    sekaligus menjijikkan di zamannya.
Misalnya bisikan penjual  jamu yang sebentar-sebentar menoleh sekeliling karena khawatir ada yang memata-matai. Katanya, berpuluh tahun silam pedagang bunga tabur itu ibarat emas yang tiba-tiba jatuh dari langit. Ia datang bersama kedua orangtua dan adiknya. Entah dari mana asalnya  tak ada yang tahu. Mereka sangat tertutup terhadap asal-usul dan silsilahnya. Rumah dan pekarangan luas di desa itu mereka beli, bukan hibah atau warisan.
Inti ceritanya, saat itu ia sangat diidolakan. Decak kagum dan keinginan meremas bayangannya jadi imajinasi liar. Semua laki-laki rela mengubah membran otaknya jadi kanvas dengan lukisan dirinya yang meliuk-liuk. Semua bermimpi memilikinya. Namun peruntungan berpihak pada seorang mandor pabrik gula yang bertugas mengawasi pembagian bibit tebu. Lelaki gagah dengan sepeda onta yang berbunyi crik-crik-crik itu mengandaskan imajinasi banyak orang dan menjadikannya seorang istri yang sangat setia. Termasuk setia pada ideologi suaminya yang berhaluan kiri.
Penjual jamu hanya berani bertutur sampai di situ saja sehingga Ni harus memburu orang lain yang bersedia membisikkan cerita itu lagi. 
Untunglah ada penggembala  kerbau  yang bersedia ditanggap meski juga bernyali kecil. Katanya, perkawinan mereka belum  membuahkan anak saat terjadi pergolakan besar di negeri ini. Saat pergolakan politik itu terjadi, si mandor punya gagasan menjebol gudang pabrik gula dari dalam dan berita pembobolan itu disebarluaskan. Pembobolan terjadi. Ratusan, atau malah ribuan orang, berpesta-pora rebutan gula  layaknya menambang pasir. Peluru-peluru pun beterbangan dari senapan anggota brigade mobil yang bertugas mengamankan pabrik.    Beberapa penjarah tewas, termasuk sang mandor yang jidatnya berlubang tembus ke belakang.
Namun si gembala kerbau menggeleng lemah ketika diminta meneruskan ceritanya.
Ni hampir kehilangan jejak sampai ia bertemu pedagang merpati  yang mengaku punya kisahnya meskipun hanya  sedikit.
Katanya, setelah kematian si mandor perempuan itu disingkirkan oleh keluarga suaminya. Harus enyah  tanpa warisan sedikit pun. Dia lalu kembali ke rumah orangtuanya. Saat menjanda itulah gelegak imajinasi pengagumnya lebih leluasa dan menjadi-jadi, semakin liar. Tapi itu tak berlangsung lama karena ada pemuda yang segera  melamar dan membawanya pergi. Entah kemana tak seorang pun tahu, termasuk keluarganya.
Blantik merpati  hanya menceritakan itu saja. Tetapi ada kesan kalau ia menyembunyikan sesuatu, yang sengaja tak diungkap.
Cerita yang didapat dari pande besi, yang punya kios di belakang kantor kecamatan, lebih banyak dan seru karena lebih  berani. Mula-mula si pande besi   mendapat berita dari seorang buruh tebang tebu yang membetulkan sabit bengkoknya. Katanya kegiatan tebang-menebang tebu semakin hidup dan menggairahkan. Mengapa? Karena setelah seharian lelah bekerja malamnya  ada yang menghibur dengan cara yang menghentak-hentak. Buruh tebang bercerita kalau di tengah-tengah kerimbunan tebu yang belum ditebang ada panggung tayub dan gubuk kecil sebagai pelipur lara.
Pande besi maklum maksudnya. Tentu bukan sekadar permainan kartu atau minum tuak. Dan ia ingin bukti. Malamnya ajakan si buruh tebang diterimanya. Setelah berjalan cukup lama dan menyelinap di sela-sela tanaman tebu didapatinya hingar-bingar kehidupan malam, layaknya pasar malam kecil-kecilan. Arena yang luas meski tidak seluas lapangan bola. Sehingga kalau dilihat dari atas kebun tebu itu tampak pitak dan di sana-sini ada obor. Ada panggung cukup besar yang terbuat dari batang-batang bambu untuk pentas tayub. Di sebelahnya, agak jauh dan memojok, ada gubuk kecil yang tertutup rapat dan dijaga ketat oleh beberapa orang. Sepertinya tempat yang dibuat khusus dengan tujuan khusus pula. Juga ada beberapa pedagang makanan dan minuman yang memeriahkan suasana.
“Gubuk apa itu?” tanya pande besi.
“Tunggulah beberapa saat maka kamu akan tahu!” jawab buruh tebang.
Tak lama kemudian terdengar suara  kendang, saron, kempul, dan goyang tayub pun dimulai dengan tiga penari. Suatu saat mata pande besi tak berkedip karena melihat sosok yang sangat dikenalnya masuk ke dalam gubuk kecil itu. Perempuan itu! Ya perempuan itu! Sosok yang tak mungkin mati dari benaknya! Mengapa di sini? Mengapa diasingkan ke gubuk kecil? Melihat keterpanannya buruh tebang berbisik, “Apa kamu bawa duit? Kalau ada kamu bisa masuk ke sana!” Degup jantung pande besi kian ramai, jelas sebuah kesempatan emas untuk menampilkan imajinasi liarnya secara nyata. Meski sangat  berminat pande besi tak berani mendekat. Ketika ingin bertanya lagi teman barunya keburu bergumam, “Lelaki dan perempuan, tentu kamu tahu!”
“Apa dia salah satu penari?” tanya pande besi lagi.
“Bukan! Justru dia pemilik kelompok tayub ini!  Tayub hanya pura-pura, hanya pemanis. Justru dirinya yang paling mahal. Harga penari tak sampai separuhnya!”
Dengan memberanikan diri pande besi beringsut mendekati gubuk itu. Tetapi keburu ada yang menghardiknya, “He, mau apa?! Ndaftar dulu dan antri!”Pande besi menurut. Lalu mendekati orang yang berdiri congkak di dekat gubuk kecil yang membawa patahan pinsil dan sobekan kertas. Orang itu menyambutnya ramah dan berkata, “Nomor lima! Pendaftaran sepuluh rupiah. Nanti di dalam membayar lagi!”
“Berapa?”  tanya pande besi, sambil menerima sobekan kertas yang tertulis  angka lima.
“Kalau tak banyak tingkah lebih murah. Dia sendiri yang menentukan!” jawab orang itu, ketus. Ada beberapa orang lagi yang mengikuti jejaknya. Pande besi lalu ikut  bergerombol bersama buruh tebang yang lagi asyik main kartu di dekat pedagang ronde. Antri menunggu panggilan.
“Nomor tiga!” teriak orang yang berdiri di depan gubuk ketika ada laki-laki yang melangkah keluar.
Pande besi harus bersabar. Masih satu orang lagi sebelum dirinya.
“Nomor empat!” teriak penjaga tak lama kemudian.
Si nomor tiga keluar dengan wajah tersipu-sipu. Ada teriakan huuu dari orang-orang yang main kartu. Goyang tayub pun makin liar. Penarinya tinggal dua, yang satu sudah dibawa seseorang, entah ke mana. Setengah jam lebih, tapi nomor empat belum juga keluar. Beberapa pengantri jadi gelisah, bahkan ada yang mengumpat dengan kata-kata kasar. Degup jantung pande besi pun semakin kencang.
“Nomor lima!” teriak penjaga.
Nomor empat keluar dengan muka mendongak, layaknya serigala melolong karena memenangkan pertarungan. Pande besi melangkah gontai menuju gubuk tapi segera dibentak agar tidak menyia-nyiakan waktunya. Dibukanya pintu bambu dan gerai selimut usang yang dijadikan gorden. Ia sibak juga tirai-tirai lainnya, ternyata berlapis-lapis dan berbau tengik sehingga bernapas pun susah.  Mungkin pande besi tak seperti lainnya sehingga perempuan yang terbaring dengan jerami-jerami yang menempel di tubuhnya karena keringat  mesti terbelalak memperhatikan tamunya. Pande besi kebingungan tapi akhirnya ia menemukan kata-katanya, “Bukankah kamu  itu si Pai?”
Yang tergolek terkejut  dan meraih kain untuk menutupi tubuhnya. Lalu terbata-bata berucap, “Bukan! Aku tidak mengenalmu!”
“Kamu Pai! Aku hafal tai lalat di lehermu  itu. Aku hafal sekali!” kata pande besi, setengah berbisik.
Perempuan itu tercenung beberapa saat. Lalu dengan menghindari tatapan mata pande besi  ia bertanya, “Bagaimana keluargaku?”
“Sudah meninggal semua!” kata pande besi. “Mereka selalu  memikirkanmu, mencarimu ke mana-mana lalu putus asa. Kami semua sudah mencoba menghibur, tapi mereka terlalu menyayangimu. Satu persatu mereka jatuh sakit.” Perempuan itu menangis tersedu-sedu. Pande besi berucap lagi, “Pulanglah, warisan orangtuamu tidak ada yang ngurus. Atau kamu ingin benda-benda itu jatuh ke tangan keluarga suamimu yang rakus?” Tidak ada jawaban karena perempuan itu tersengal-sengal menahan isaknya. Pande besi bergegas keluar. Meninggalkan ranjang darurat yang terbuat dari balai bambu yang beralas jerami dan tikar pandan. Entahlah, kenapa ia bisa mendadak mematikan imajinasi liar yang sudah bertahun-tahun  bercokol di kepalanya.
“Nomor enam!” teriak si penjaga lantang.
Pande besi tak menghiraukan teriakan dan ejekan yang mencemooh dirinya. Ia meninggalkan keriuhan yang semakin menggebu. Sebetulnya ia ingin menyimpan rahasia itu. Tetapi percuma karena buruh tebang tak hanya berurusan dengan dirinya. Mereka juga nongkrong di warung atau main kartu dengan warga desa. Tentu saja sambil mengumbar cerita tentang gubuk idamannya. Sehingga malam-malam berikutnya berbondong-bondong orang mengikuti arah yang dituding para penebang. Gubuk kecil itu tidak pernah menetap lama  karena terus mengikuti arus buruh tebang yang selalu berpindah-pindah layaknya gelombang air bah. Paling lama seminggu, tergantung luas hamparan tebu yang harus dipanen. Uniknya, gubuk kecil itu hanya ada saat musim giling. Ketika ada kegiatan tebang-menebang  tebu. Di luar musim itu gubuk kecil dan penghuninya hilang bak ditelan bumi. 
Kisah gubuk kecil yang berpindah-pindah makin merata. Menyebar dengan cepat dan melahirkan pengagum-pengagum  baru. Pengagum fanatiknya, yang sebagian besar berasal dari desanya,  sangat bergembira  karena imajinasi liarnya telah terbayar lunas. Tak lagi hanya di angan-angan tetapi juga sudah dirasakan oleh tangan dan kakinya. Bagi mereka tak jadi soal ketika harus jauh-jauh memburunya. Akhirnya, musim giling selalu didoakan agar segera tiba. Beberapa tahun kemudian pande besi sempat memburunya lagi, antri, dan membujuknya agar pulang. Tetapi bujukannya gagal. Hanya saja dari pertemuan itu ia mendapat cerita kalau perempuan itu dijual suami keduanya yang ternyata menaruh dendam kesumat kepada suami pertama.
Gubuk kecil yang berpindah-pindah semakin mengokohkan ketenarannya sekaligus menorehkan aib desanya. Para istri selalu mengingatkan suami agar tidak membicarakan gubuk kecil itu dengan nada cemburu dan was-was. Gubuk kecil itu juga dijadikan umpatan bila ada yang murka pada anak perempuannya. Kisah gubuk kecil itu kian subur sampai telinga dan bibir tebal dibuatnya. Sampai akhirya tidak ada lagi buruh tebang yang memberitakan keberadaannya. Orang pun sangat kehilangan dan bertanya-tanya. Sebetulnya, seiring waktu, kisah gubuk kecil yang berpindah-pindah itu akan mati dengan sendirinya karena orang sudah enggan membicarakannya. Tetapi lima puluh tahun kemudian perempuan itu pulang dan berdagang bunga tabur sehingga kisah gubuk kecil yang berpindah-pindah pun meruak lagi dengan nada bisik-bisik. Ni berharap agar kisah itu hanya isapan jempol belaka, hanya sekedar fitnah saja, karena siapa pun tahu kalau pada waktu itu semua fitnah dihalalkan.
Jakarta, 25 Juni 2004




P A W A N G    M I M P I

“Berita gembira!” seru Joyo Tung,
menanggapi berita adanya dukun tiban yang buka praktek di Ceper,
tak jauh dari kantor  kecamatan.

Selama ini tidurnya tersiksa, selalu dihantui mimpi buruk. Tapi setelah mimpinya direparasi oleh dukun itu tidurnya jadi nyenyak. Dukun baru itu mengaku sebagai pawang mimpi, yang mampu membuat atau menghadirkan mimpi. Orang bisa pesan mimpi padanya. Karena kemampuannya yang unik itu pasiennya selalu membeludak. “Edan! Mimpi bertemu mantan pacarku jadi kenyataan!” seru pasien barunya, terpuaskan.
Nama aslinya Mbeluk, tetapi pasiennya menyebut Kyai Mbeluk. Kedua kakinya buntung karena terlindas kereta api tebu. Kaki kanannya hanya menyisakan paha, sedangkan yang kiri putus di bawah dengkul. Dia hidup membujang. Usianya lebih dari tujuh puluh tahun. Rambut putihnya dipelihara panjang, kadang-kadang digelung layaknya rambut tokoh Ken Arok di panggung ketoprak. Tatapan matanya teduh seperti rembulan. Konon ilmunya jatuhan dari langit, tanpa belajar dari guru atau bertapa. Orang-orang menyebutnya ilmu wangsit yang setara dengan kharomah yang dimilik para wali.   Sebelum jadi dukun, dia jadi pengemis di Semarang.   
Mimpi hanya bunga tidur, tetapi kalau disuruh memilih orang pasti pilih mimpi indah yang layaknya mencicipi surga. Pawang mimpi ini selalu mendapat pesanan mimpi-mimpi surgawi. Tak heran kalau dirnya menjadi perbincangan di mana-mana, di pasar, sekolahan, dan kantor-kantor. Pasiennya bebas umur, tapi anak-anak tidak boleh pesan mimpi pacaran karena belum cukup umur. Banyak yang minta mimpi jadi artis, jadi pejabat, atau nikah lagi. Pernah ada kepala sekolah yang minta dibuatkan mimpi sedang pacaran dengan muridnya. Permintaan mimpi apa pun selalu diturutinya karena mimpi bukan kejahatan.
Bagaimana dia membuat mimpi? Sederhana. Setelah pasien mengutarakan mimpi pesanannya, ujung jari telunjuk Kyai Mbeluk dicelup ke dalam mulutnya, lalu jari yang basah ludah itu ditekankan di jidat pasien. Noda ludah tersebut tak boleh tersapu oleh air. Sehingga lebih banyak pasien yang datang malam hari, bakda shalat Isya, agar noda itu tetap terjaga sampai saatnya bangun tidur. Dan, pesanan mimpi itu tidak pernah salah. “Dalam  mimpi yang kupesan kemarin harga gas nol rupiah,” kata seorang ibu rumah tangga, “sayang hanya mimpi!”   
Ada pasien laki-laki yang berkata, “Dalam mimpi istriku jadi langsing, aku jadi ketagihan!”
“Gila! Kyai Mbeluk mampu membuat mimpi. Padahal, Nabi Yusuf saja hanya bisa meramal mimpi!” ujar pasien lain. 
“Hus, jangan banding-bandingkan dengan nabi! Yang pasti hanya dengan sebungkus rokok kita sudah bisa tidur nyenyak dan ditemani mimpi indah sesuai pesanan!” kata yang lainnya. Memang, meskipun tidak meminta ongkos, tetapi pasien tahu diri. Ada yang ngamplopi atau ninggal sebungkus atau dua bungkus rokok di baskom yang selalu ditutupi kain. Sehingga tidak diketahui apakah pasien itu memasukkan amplop, rokok, atau sekadar memasukkan tangan saja sebagai obat malu karena tak bawa apa-apa. Tapi amplop dan rokok selalu menggunung. Dia mengambil uang atau rokok ala kadarnya, hanya untuk mencukupi hidupnya yang sangat sederhana. Selebihnya, penghasilan dari prakteknya itu, disumbangkan kepada anak-anak yatim piatu dan untuk mengobatkan orang miskin yang sakit.
Anehnya, Kyai Mbeluk menolak mentah-mentah kalau ada proposal pembangunan masjid. “Mubasir! Sudah terlalu banyak masjid mewah di sekitar kita. Masjid banyak nganggurnya, hanya ramai pada bulan Puasa atau pas Jumatan saja! Sementara banyak sekali fakir miskin terlantar di rumah sakit karena tak punya uang, juga banyak anak-anak yang tak bisa sekolah!” tukasnya. Pernyataannya menyulut kontroversi, tetapi dia tak tak peduli.

***
Berbeda dengan keris atau pusaka lain yang boleh diwariskan kepada anak kandung, ilmu kesaktian punya hukum tersendiri untuk diteruskan. Kesaktian hanya boleh diwariskan menyamping, artinya, hanya keponakan yang berhak mewarisi. Tidak masalah karena dia tidak punya turunan. Sedangkan Painah, kakaknya, punya dua anak laki-laki, Murtaki dan Saijo. Kyai Mbeluk sudah memikirkan siapa pewaris ilmunya. Dibandingkan Murtaki, Saijo lebih dekat kepadanya karena menjadi asistennya, yang mencatat alamat pasien sekaligus jaga baskom. Tapi dia tak cocok dengan gaya hidup Saijo yang cenderung wah dan suka mengutil amplop dari baskom. Sementara Murtaki lebih bersahaja dan rendah hati. Tapi Saijo sangat berharap agar ilmu itu diwariskan kepadanya. Kyai Mbeluk sering bimbang, bahkan tak jarang ingin melarung ilmunya saja, agar kisah pawang mimpi tamat bersama kematiannya.
“Kapan Paman akan menurunkan ilmu itu?” tanya Saijo. Pertanyaan yang sudah sangat sering.
“Ini  ilmu batin. Ilmu itu sendiri yang akan mencari tubuh untuk ditempati, tidak bisa diatur-atur seperti sertipikat tanah!” jawab Kyai Mbeluk. Padahal hanya dengan mengecup ubun-ubun orang yang dimaksud maka ilmunya akan berpindah.  Saijo tahu kalau pamannya condong kepada Murtaki, dan ini membuat hatinya geram. Bagi Saijo, bila ilmu itu tidak jatuh kepadanya, lebih baik tidak dua-duanya, tidak dirinya maupun kakaknya. Tetapi kalau itu kemauan pamannya maka dia tak bisa mencegahnya. Kecuali pamannya mati sebelum sempat mewariskan ilmunya.    

***
Pada suatu hari Kyai Mbeluk tidak ditemukan di tempat prakteknya. Pasien yang membludak menelan kekecewaan. “Celaka, padahal saya sudah membayangkan mimpi yang enggak-enggak!” gerutu calon pasien yang masgul. Tidak ada yang tahu kalau  pagi-pagi sekali Kyai Mbeluk diculik sekelompok orang dari Partai Sapit Urang, sebuah partai politik yang cukup ternama. Dia dibawa ke sebuah hotel berbintang di kota Solo. Di hotel itu dia sudah ditunggu Margono, sang dedengkot partai.
“Tolong kami, Kyai. Buatlah Gus Darto bermimpi tentang nikmatnya jadi presiden. Sudah lelah kami membujuknya agar bersedia dicalonkan jadi presiden, tetapi dia selalu menolak. Hanya mimpi jadi presiden yang bisa merubah pendiriannya,” rengek Margono.  Kyai Mbeluk manggut-manggut, urusan mimpi memang ahlinya. Seperti menghadapi pasien-pasien lainnya, Kyai Mbeluk pun melakukan ritual dengan ludahnya di jidat Gus Darto. Paginya, Gus Darto bangun tidur dengan ceria dan saat itu juga bersedia dicalonkan jadi presiden. Kyai Mbeluk pun dipulangkan ke Ceper lagi.
Siapa sangka Gus Darto terpilih jadi presiden, malahan menang telak, karena perolehannya melebihi enam puluh persen. Kyai Mbeluk tak peduli. Ia hanya peduli pada urusan mimpi-mimpi pasiennya. Apalagi akhir-akhir ini dia mendapat serangan. Diisukan  bahwa ilmunya sealiran dengan Syech Siti Jenar, ulama haram dari Pulau Jawa. Tapi tidak mempan, pasiennya malah tambah banyak. Serangan pun berlanjut, dan yang ini sangat konyol. Kyai Mbeluk dituduh menyebarkan paham palu arit, karena memakai penggaruk punggung yang bentuknya mirip celurit yang ujungnya ada bola karet sebesar bola bekel. Juga tidak mempan, pasien tetap menyerbu seperti laron di lampu terang.
Lalu ada fatwa yang menyatakan mimpi-mimpi yang dibuatnya haram. Dengan alasan orang-orang yang jadi pasiennya jadi terbuai mimpi, tak mau bekerja. Padahal, setelah menjalani mimpi-mimpi indah itu pasiennya semakin giat bekerja. Mimpi buatannya ibarat  doping yang menyehatkan. Kyai Mbeluk tidak menanggapi hujatan-hujatan itu, dingin-dingin saja. Tapi  pasiennya bereaksi,  “Ngawur! Siapa  yang bilang bahwa bermimpi itu haram? Sebutkan ayat dan hadistnya!”
“Urusan mimpi kok melebar ke mana-mana!” seru Ponijan, gusar. Dia khawatir kalau tempat praktek pawang mimpi tutup maka warung makannya jadi sepi. 
“Misalnya kamu mimpi nyolong ayam, apakah kamu bisa dihukum?”
“Tentu saja tidak, karena tidak nyata, hanya mimpi!”
“Fatwa aneh! Tahu sendiri zaman serba susah, mengapa orang dilarang menghibur diri-sendiri! Toh, mimpi tidak mengganggu orang lain!”
Ada juga yang mengancam agar sebutan “kyai” dicabut dari namanya. “Enak saja mencantumkan kata ‘kyai’ di depan namanya, memangnya pimpinan pesantren?” ujar seorang santri muda.
“Dasar bocah picik! Di Jawa, apa saja yang dihormati diberi gelar kyai. Tidak saja orang, tapi juga benda dan binatang. Kamu tahu kerbau Kyai Slamet? Kamu tahu tombak Kyai Plered atau keris Kyai Sengkelat?” sergah salah satu pasien Kyai Mbeluk, berang. “Harap tahu saja, bukan Kyai Mbeluk sendiri yang menyebutnya dirinya kyai, tapi kami-kami ini!” Santri muda itu jadi malu. 
Anehnya, setelah dua tahun Gus Darto jadi presiden, Kyai Mbeluk suka hilang dari tempat prakteknya. Hilang tanpa jejak, tak ada yang bisa mengendusnya. Para pasien beranggapan dia sedang mengasah kesaktian. Sebetulnya, ketika hilang itu, Kyai Mbeluk sedang di-booking sang presiden, tentu saja ini sangat dirahasiakan. “Hanya Kyai yang bisa menghiburku,” bisik Presiden Gus Darto, malu-malu.  “Aku ingin mimpi jadi presiden yang sukses. Ternyata sulit sekali memimpin negeri ini.”
 “Mimpi dengan ibu presiden yang sekarang?” tanya Kyai Mbeluk. Gus Darto menggeleng dan berbisik sangat lirih.   Lalu, mimpi sang presiden jadi kenyataan. Sialnya,  sang presiden selalu mengigau dalam tidurnya. Akibatnya, ibu presiden yang bernama Sriyatun curiga ada perempuan lain di hati suaminya. Igauan suaminya bukan lagi “Sriyatun…Sriyatun” melainkan “Sariyem…Sariyem”. Sariyem nama pacar suaminya di SMA. Panas sekali hatinya. Suaminya kini sangat suka tidur, apalagi kalau ada Kyai Mbeluk, dan igauannya selalu menyakitkan hati. Dan, sejak itu pula, sering ada intel menyamar jadi pasien Kyai Mbeluk.
“Apa sih rokok kesayangan Kyai?” bisik salah satu pasien kepada Saijo.
“Rokok klobot, rokok dari kulit jagung.” 
Seminggu kemudian, setelah pasien yang keenam ratus, tiba-tiba tubuh pawang mimpi oleng dan jatuh menungging dengan mulut berbusa dengan jari-jarinya masih menjepit rokok klobot. Pasien panik, Kyai Mbeluk dilarikan ke RS Islam Ketandan, namun nyawanya tak terselamatkan. Pawang Mimpi mati diracun. Polisi menemukan racun pada rokok yang diisapnya. Berdasar kesaksian salah satu pasien maka Saijo ditangkap. “Kamu yang paling tahu selera rokok pamanmu!” kata polisi. Saijo bingung. Memang, rokok klobot itu diambilnya dari baskom dan diberikan kepada pamannya. Maksudnya agar sang paman senang, bukannya mati. (*) 
            Klaten, 1 September 2008



Catatan:
tiban                : tiba-tiba ada, layaknya jatuh dari langit
nyuwuk             : proses mengobati, memantrai
melarung         : menghanyutkan, membuang dengan ritual khusus



Sarindi Menanam Padi di Kulit Kepalanya

Ini kisah di Negeri Dedelduwel,
tentang penggembala bebek yang sangat fanatik,
yang sekali angon bebek tetap angon bebek.

Tapi seiring tubuhnya yang mulai lemah dan pincang dia mencari sisa-sisa padi di sawah, mencari satu dua tangkai padi yang terlewati sabit penuai. Jika beruntung di satu petak sawah bisa mendapat dua sampai tiga kilo gabah basah. Kalau bukan musim panen dia mencari rontokan gabah di tumpukan jerami di tepi sawah dan berharap masih ada beberapa butir gabah bernas tertingal di situ. Caranya, jerami diangkat dan dihentak-hentakan agar gabahnya rontok ke karung yang digelar di bawahnya. Dia sering kecewa karena hanya mendapati gabah kosong. 
Dia sangat sedih dan terhina ketika ada pengijon padi yang membentak-bentaknya. “Akan ada orangku yang menuai ulang! Kalau mau, nanti setelah orangku selesai bekerja, atau kamu mencari di sawah lain!” seru si tengkulak di depan puluhan buruh tuai. Kakinya yang sudah melangkah ke sawah harus ditarik lagi. Dalam keterhinaannya itu dia menelusupkan sebutir gabah di kulit kepalanya yang gatal.
Dia lupa kejadian itu sampai suatu hari kepalanya terasa sangat gatal dan digaruk, ada daun padi muda terselip di kukunya. Digaruknya lagi dan mendapati daun padi. Lama-kelamaan dirinya heran karena daun padi ada terus. Ketika ada motor berhenti di tepi sawah dia numpang bercermin di spionnya. Disibaklah rambutnya dan betapa kaget ketika mendapati serumpun tanaman padi muda menancap di kepalanya. Dicabutnya tapi tidak bisa, malah terasa sakit seperti dijambak-jambak. Akar tanaman padi tertutup kulit kepalanya. Beberapa saat dirinya  kebingungan, tapi setelah itu bersahabat dengan situasi aneh tersebut dan merasa nyaman.
Dia tidak memberitahu siapa pun. Tapi orang yang bertemu dengannya bertanya mengapa membawa-bawa tanaman padi di kepalanya, atau dikira tanaman padi itu tak sengaja tersangkut di kepalanya. Namun karena setiap hari seperti itu mereka semakin heran. “Setahuku tanaman padi bukan penangkal petir layaknya daun jarak!” Orang lainnya berujar kalau itu bukan anti-petir, Sarindi yang membujang dikatakan sedang berkhayal jadi pengantin dan memakai cunduk mentul.
“Paklik, ada tanaman padi di kepalamu!” seru anak-anak ketika bertemu dengannya.
Dia menjawab sambil tersenyum, “Tidak apa-apa, sengaja kutanam.”
Tidak ada yang percaya dengan omongannya. Tapi orang-orang semakin penasaran ketika tanaman padi di kepalanya bertambah besar layaknya tanaman padi di sawah, jumlah anakannya pun bertambah sehingga cukup mencolok mata. Sampai akhirnya ada orang yang menyibak rambutnya dan terkejut, “Betul, tanaman padi itu tumbuh di kepalanya!” Yang lain ikut melihat, Sarindi tidak bohong. Mengapa bisa tumbuh di kepalanya, jangan-jangan daki di kepalanya sangat tebal sehingga berfungsi sebagai media tanam, atau ketombenya? Tapi teori daki tebal dan ketombe tidak terbukti karena kulit kepalanya bersih.
Keberadaan tanaman padi di kulit kepalanya menjadi perbincangan menarik. Ada yang mengaitkan kalau dirinya kena santet, tentu saja dibantah. Untuk membuktikan, dengan disaksikan banyak orang, dia menelusupkan sebutir gabah lagi di kulit kepalanya, dan tumbuh. Tanaman padi di kepalanya siap berbunga. Ketika bunganya mekar maka putik dan benang sarinya bersinggungan. Gabah muda yang semula menganga pelan-pelan menutup untuk melindungi bakal biji.
Ketika padi mulai menguning ada beberapa burung pipit hinggap dan memakannya. Dia tidak mengusirnya, membiarkannya kenyang. “Mereka punya anak di sarang, kalau diusir anaknya kelaparan,” ujarnya, santai. Burung pipit makin banyak di kepalanya. Tapi burung-burung itu tahu diri, tidak pernah buang hajat di kepalanya. Seakan berterima kasih diberi padi dan tidak diusir-usir seperti petani lainnya. Aneh, jumlah butir padinya tidak pernah berkurang.
Pada usia tiga bulan padinya siap petik. Betul-betul padi yang bernas, tangkainya sangat menunduk karena keberatan isi. Tapi hanya bisa diambil butir padinya, tanpa tangkainya karena sabit yang diasah tajam mendadak tumpul ketika mengenainya. Selain itu, hanya Sarindi yang bisa mengambilnya. Ketika ada yang menyerobot dari belakang maka Sarindi terjengkang ke belakang. Ketika ada petani yang gagal panen dan menangis, Sarindi memberinya sebutir. “Tanaklah untuk obat kesedihanmu.” Orang itu heran. Gabah itu dikupas dengan kukunya dan ditanak di periuk, jadi seperiuk nasi dan membuat kenyang sekeluarga. Dia menemukan satu gabah di nasinya. Besoknya ketika gabah itu ditanak menjadi seperiuk nasi lagi. Terus seperti itu sehingga keluarganya terselamatkan dari kelaparan. Berita itu menyebar dari mulut ke mulut.
 “Hanya kalian yang benar-benar kelaparan yang akan beruntung,” ucap Sarindi. Ketika ada yang punya stok beras dan minta sebutir padi maka ketika ditanak ya hanya jadi sebutir nasi, tidak bertambah. Ketika ada yang menjual gabah pemberiannya, tak ada hasilnya, gabah itu tetap gabah, tidak menjadi nasi. Sarindi sendiri tidak pernah makan nasi dari padi di kepalanya, tetap ngasak seperti biasanya.“Ini padi nurani,” ujarnya. Orang-orang pun menyebutnya sebagai padi nurani. “Kang, sawahku diserang tikus,” keluh petani yang sudah beberapa musim gagal panen. Sarindi memberi sebutir padi dan disuruh meletakkan ke pojok sawah sisi timur. Hasilnya, tikus lenyap dan panen melimpah. Orang pun berbondong-bondong minta gabahnya untuk mengusir wereng, sundep, belalang, dan lainnya.
Berita tanaman padi di kulit kepalanya didengar seorang pemulia benih. Dia datang menemui Sarindi dan meminta beberapa butir. Setelah diteliti disimpulkan kalau itu padi varietas baru, telah terjadi mutasi gen sehingga harus diberi nama. Padi itu dinamakan padi sarindi, mendampingi padi jenis rojolele, cianjur, bramo, mentik wangi, ir-64, dan sebagainya. Tapi nama “padi nurani” lebih populer. 

***
Perbincangan tentang Sarindri dan padi nurani mengalir sampai jauh. Tapi Horotoyoh, si menteri pertanian, tersinggung dengan fenomena Sarindi. Penanaman padi di kulit kepala itu sangat menohok dirinya. Janji landreform yang digembar-gemborkan kala kampanye, yang tak pernah ditindaklanjuti, seakan dikuliti habis-habisan. Padi nurani dianggap sindiran untuknya. Padahal janji pembagian tanah untuk si miskin dulu hanya retorika belaka, pemanis bibir saat kampanye Partai Ogal-Agil. Namun bukan Horotoyoh kalau tidak pandai memelintir situasi. “Dia patut dicontoh,” ujarnya.  “Kini tak ada alasan lagi buat rakyat yang mengaku tidak punya tanah untuk tidak bercocok tanam. Dengan lahan  kurang dari setengah meter kita bisa bertanam padi. Dengan teknik tanam baru ini maka negara kita akan berswasembada pangan, tidak impor terus.”
Asistennya yang profesor pertanian membenarkan kalau itu sangat masuk akal. Alasannya, sebagai bangsa pemakan nasi maka unsur padi ada pada tubuh mereka sehingga sangat memungkinkan bagian tubuh, terutama yang ditumbuhi rambut, untuk ditanami padi, baik kepala, ketiak, dan lainnya. Tapi bagian kepala paling pas karena banyak mendapat sinar matahari. Gerakan menamam padi di kulit kepala lalu dicanangkan secara nasional. Dua ratus lima puluh juta kepala ditanami padi. Sayangnya, ketika tiba masa panen, padi yang dihasilkan kosong melompong alias gabug. “Karena kita tidak punya nurani, hanya punya keserakahan,” ujar seseorang yang waskita.
“Gagal panen itu biasa, harus dicoba lagi,” ujar Horotoyoh. Hasilnya sama saja, tidak berisi.
Ada yang mengusulkan agar mencangkok tanaman padi milik Sarindi. Tapi padi tak bisa dicangkok sehingga akan dilakukan teknik kultur jaringan.  Sayangnya, Sarindi tidak mengizinkan orang-orang si menteri mengambil sebagian tanaman padinya. Akibatnya, dia menjadi pelarian kerena dituduh menghasut. Setelah beberapa minggu jadi buron dia tertangkap dan diinterograsi. Dicari-cari kesalahannya, sangat sulit, sehingga disangkutpautkan dengan pembrontakan masa lalu, dipojokkan sebagai orangnya Pak Jenggot, pentolan Partai Gela-Gelo yang mati diseret truk. “Kamu anaknya?” Bukan! “Kamu cucunya?” Bukan! “Kamu saudaranya?” Bukan! “Kamu tetangga dekatnya?”  Bukan! “Kalau begitu kamu tetangga jauhnya!”
Setelah itu Sarindi dibius, anakan padi di kepalanya diambil dan ditanam di kepala si menteri sebagai proyek percontohan. Setelah diadili di pengadilan yang penuh rekayasa, Sarindi dibebaskan. Tapi seminggu kemudian dia ditemukan mati di rumahnya. Tanaman padi di kepalanya layu dan mati. Ada isu dia diracuni, tapi karena tak punya kerabat maka tak ada yang peduli, langsung dikubur. 
****
Tanaman padi di kepala sang menteri tumbuh subur. Kopiahnya dilubangi agar padinya bisa menyembul keluar. Padi itu berbuah dan tampak sangat bernas. Horotoyoh siap dikukuhkan menjadi penyelamat negeri dari bahaya kelaparan. Media lokal dan asing datang meliputnya. Rencananya, gabah hasil  panen dari kepalanya akan dibagikan kepada para gubernur agar dibudidayakan di wilayah masing-masing. Acara potong padi di kepalanya ditandai seremonial dan pidato yang heboh. Setelah itu kepala negara memotongnya dengan gunting, kres, tangkai padi terpotong. Gabahnya gemuk-gemuk dan sangat bernas. “Semoga berasnya lebih pulen daripada beras nurani,” kata sang kepala negara dan disambut tepuk tangan meriah.
Horotoyoh tersenyum bangga. “Masa keemasan Sarindi telah lewat,” bisiknya kepada si asisten. Gabah dibagikan kepada tamu undangan. Mereka tak sabar dan mengupas kulit arinya. Kulit gabah terkelupas. Benda putih seperti beras mencelat ke lantai, dan kruget-kruget bangun. Bukan beras tapi belatung! Benar, itu singgat yang biasa ada di buah nangka busuk. Acara kenegaraan menjadi gempar karena banyak ulat melompat-lompat.   Horotoyoh kebingungan, minta tanaman padi di kepalanya dibabat habis. Tapi tidak bisa, harus menunggu jeraminya membusuk sendiri sehingga di kepalanya ada borok besar dan menjijikkan. 
Sementara itu, di kuburan Sarindi, di tanah pusara sisi utara, tepat di atas kepalanya, tumbuh serumpun tanaman padi yang subur. Lagi-lagi, hanya burung pipit dan orang kelaparan yang beruntung.  (*)

Klaten, 4 Agustus 2014